Cyberlaw

Posted: October 11, 2010 in Uncategorized

Apa itu Cyberlaw?

Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan Internet. Cyberlaw dibutuhkan karena dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah “ruang dan waktu”. Sementara itu, Internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu ini.

Contoh permasalahan yang berhubungan dengan hilangnya ruang dan waktu antara lain:

* Seorang penjahat komputer (cracker) yang berkebangsaan Indonesia, berada di Australia, mengobrak-abrik server di Amerika, yang ditempati (hosting) sebuah perusahaan Inggris. Hukum mana yang akan dipakai untuk mengadili kejahatan cracker tersebut? Contoh kasus yang mungkin berhubungan adalah adanya hacker Indonesia yang tertangkap di Singapura karena melakukan cracking terhadap sebuah server perusahaan di Singapura. Dia diadili dengan hukum Singapura karena kebetulan semuanya berada di Singapura.
* Nama domain (.com, .net, .org, .id, .sg, dan seterusnya) pada mulanya tidak memiliki nilai apa-apa. Akan tetapi pada perkembangan Internet, nama domain adalah identitas dari perusahaan. Bahkan karena dominannya perusahaan Internet yang menggunakan domain “.com” sehingga perusahaan-perusahaan tersebut sering disebut perusahaan “dotcom”. Pemilihan nama domain sering berbernturan dengan trademark, nama orang terkenal, dan seterusnya. Contoh kasus adalah pendaftaran domain JuliaRoberts.com oleh orang yagn bukan Julia Roberts. (Akhirnya pengadilan memutuskan Julia Roberts yang betulan yang menang.) Adanya perdagangan global, WTO, WIPO, dan lain lain membuat permasalahan menjadi semakin keruh. Trademark menjadi global.
* Pajak (tax) juga merupakan salah satu masalah yang cukup pelik. Dalam transaksi yang dilakukan oleh multi nasional, pajak mana yang akan digunakan? Seperti contoh di atas, server berada di Amerika, dimiliki oleh orang Belanda, dan pembeli dari Rusia. Bagaimana dengan pajaknya? Apakah perlu dipajak? Ada usulan dari pemerintah Amerika Serikat dimana pajak untuk produk yang dikirimkan (delivery) melalui saluran Internet tidak perlu dikenakan pajak. Produk-produk ini biasanya dikenal dengan istilah “digitalized products”, yaitu produk yang dapat di-digital-kan, seperti musik, film, software, dan buku. Barang yang secara fisik dikirimkan secara konvensional dan melalui pabean, diusulkan tetap dikenakan pajak.
* Bagaimana status hukum dari uang digital seperti cybercash? Siapa yang boleh menerbitkan uang digital ini?

Perkembangan teknologi komunikasi dan komputer sudah demikian pesatnya sehingga mengubah pola dan dasar bisnis. Untuk itu cyberlaw ini sebaiknya dibahas oleh orang-orang dari berbagai latar belakang (akademisi, pakar TekInfo, teknis, hukum, bisinis, dan pemerintah).

Perlukah Cyberlaw

Hukum konvensional digunakan untuk mengatur citizen. Semenatra itu cyberlaw digunakan untuk mengatur netizen. Perbedaan antara citizen dan netizen ini menyebabkan cyberlaw harus ditinjau dari sudut pandang yang berbeda.

Mengingat jumlah pengguna Internet di Indonesia yang masih kecil, apakah memang cyberlaw sudah dibutuhkan di Indonesia?
Digital Signature

Dalam perniagaan, tanda tangan digunakan untuk menyatakan sebuah transaksi. Kalau di Indonesia, tanda tangan ini biasanya disertai dengan meterai. Nah, bagaimana dengan transaksi yang dilakukan secara elektronik? Digital signature merupakan pengganti dari tanda tangan yang biasa.

Perlu dicatatat bahwa digital signature tidak sama dengan mengambil image dari tanda tangan kita yang biasa kemudian mengkonversikannya menjadi “scanned image”. Kalau yang ini namanya “digitalized signature”.

Digital signature berbasis kepada teknology kriptografi (cryptography). Keamanan dari digital signature sudah dapat dijamin. Bahkan keamanannya lebih tinggi dari tanda tangan biasa. Justru disini banyak orang yang tidak mau terima mekanisme elektronik karena menghilangkan peluang untuk kongkalikong.

http://www.cert.or.id/~budi/articles/cyberlaw.html

Apakah UU Cyberlaw memang di perlukan?

Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah apakah dunia cyber ini bisa diatur? Banyak orang yang berpendapat bahwa dunia cyber tidak bisa diatur. Di sana tidak ada aturan.
Pendapat ini tidak benar! Kalau kita perhatikan asal kata “cyber” bermula dari kata “cybernetics”. Norbert Wiener di tahun 1947 menggunakan istilah
ini untuk mendefinisikan sebuah bidang ilmu yang terkait dengan elektro, matematik, biologi, neurofisioligi, antropologi, dan psikologi. Wiener dan kawan-kawan kemudian mengadaptasi
kata dari bahasa Yunani (steersman) yang bermakna atau terkait dengan prediksi, aksi, kendali, umpan balik, dan respon.
Yang menarik juga, kata “governor” juga berasal dari kata Yunani yang sama. Aplikasi dari bidang cybernetics ini sering terkait dengan pengendalian robot (dari jarak jauh). Kalau kita perhatikan, pengendalian secara total merupakan salah satu aspek dari cybernetics. Jadi agak mengherankan kalau “cyberspace” justru tidak dapat dikendalikan, bertolak belakang dengan makna awalnya. Jika dunia cyber dapat diatur, bagaimana cara mengaturnya?
Pakar ilmu hukum Lawrence Lessig dalam bukunya, Code and Other Laws of Cyberspace, menunjukkan berbagai cara untuk mengatur dunia cyber. Salah satu pokok yang dia utarakan adalah pengaturan melalui arsitektur dan code
(program) dari sistem yang digunakan. Saya ambil sebuah contoh, yaitu masalah anonimity. Di Internet, katanya, orang dapat menyaru menjadi siapa saja. Karena itulah, ada penyataan yang mengatakan bahwa “on the internet nobody knows you’re a dog.” Masalah anonimity ini kemudian
menjadi masalah karena orang menjadi lepas tanggung jawab.
Namun, apakah memang di Internet semua harus menjadi anonimous? Tidak juga. Kita dapat menggunakan arsitektur
sistem yang mengharuskan seseorang untuk mengidentifikasikan dirinya sebelum memperoleh layanan.
Sebagai contoh, untuk mengakses web dari kampus ITB, kami menggunakan proxy yang ber-password. Hanya orang yang memiliki user id dan password yang terdaftar yang dapat mengakses web. Dalam arsitektur ini, maka identitas seorang pengguna harus jelas baru dia dapat memperoleh layanan.
Adanya identitas yang jelas ini lebih mudah dalam pengaturan sebab seorang pengguna akan dapat dikaitkan dengan
aktivitas yang dilakukannya (misalnya mengakses web pornografi). Di kampus lain mungkin akses ke web tidak dibatasi dan tidak membutuhkan mekanisme
otentikasi, sehingga orang dapat menjadi anonimous. Jadi, pemilihan arsitektur sistem menentukan mudah atau tidaknya dunia cyber diatur.
Banyak orang yang beranggapan bahwa lebih baik pemerintah tidak ikut campur dalam urusan aturan, dan biarkan
mekanisme pasar (baca: bisnis atau e-commerce) yang menentukan. Kalau kita perhatikan lebih teliti, bisnis lebih
menyukai adanya identitas yang jelas, bukan anonimity. Jadi, sebetulnya mekanisme pasar akan membuat dunia cyber lebih mudah diatur. Mungkin hal ini tidak terlalu intuitif.
Saat tulisan ini dimuat, kedua RUU tersebut sudah siap dan
hanya membutuhkan pembahasan di DPR. Selama belum ada UU cyberlaw tersebut, apakah orang dapat berbuat semenamena di dunia cyber? Tentu saja tidak. Ada sebuah pendapat bahwa tidak ada negara yang vakum hukum. Kita dapat menggunakan undang-undang lain untuk menangani kasus- kasus yang terjadi. Masalahnya UU yang ada saat ini tidak efektif dan efisien untuk menangani kasus yang terjadi.
Permasalahan yang terjadi di dunia cyber, misalnya yang berurusan dengan nama domain atau penipuan-penipuan,
membutuhkan penyelesaian yang cepat. Jadi, UU cyberlaw tersebut masih tetap dibutuhkan dan dibutuhkan sesegera
mungkin.
http://ilmukomputer.org/2007/02/26/hukum-dan-dunia-cyber/

Leave a comment